Monday, July 7, 2014

Bias

Chapter 3 : Hilang

Kelopak mata di wajah pucat itu terbuka, mengerjap. Pupil matanya melebar, berusaha mengumpulkan berkas cahaya. Ada jejak api di sana, di samping kaki kirinya yang terbujur kaku. Namun serpihan bara mungil itu perlahan menghilang, meninggalkannya di tengah kegelapan.
Dingin. Hanya itu yang dirasanya sekarang. Tangan pucatnya meraba bahu kirinya yang terasa amat perih. Dia memejamkan matanya. Mengaktifkan syaraf-syaraf di otaknya. Meraba bayang samar yang terlintas di ujung pikirannya.
Pagi itu sinar mentari menyentuh tiap sisi di permukaan Dataran Tala. Memberikan pelukan hangat bagi setiap kehidupan yang bernaung di bawahnya. Termasuk dua orang anak kecil yang sedang berjalan berdampingan, menyisiri pinggiran hutan yang tak jauh dari rumah mereka.
Gadis kecil bersurai panjang keperakan itu berlari pelan ketika manik biru polosnya menemukan serumpun bunga anggrek ungu di sebuah cabang pohon tua. Namun gadis kecil itu berbalik kembali ketika ia tidak menemukan anak kecil lain mengikutinya. Ia mendongak, menatap anak laki-laki di depannya, berharap tatapannya dapat mengungkap keinginannya. Anak laki-laki itu hanya menatapnya malas. Percuma. Akhirnya ia menarik ujung baju anak laki-laki itu dan membawanya ke bawah pohon tua itu.
“Luz. Ambilkan itu. Tolong.” Kata gadis kecil itu seraya menunjuk ke arah sebuah cabang pohon tua. Memerintah. Memohon.
Anak laki-laki yang dipanggil Luz itu hanya diam. Tak perduli.
“Jika kau tidak mengambilkannya, akan ku katakan pada bibi kalau kau membuatku menangis Luz.” Katanya dengan wajah merah dan tangisan yang hampir meledak.
“Ba-baiklah.” Kata Luz gugup. ‘Bocah ini benar-benar menyebalkan’ pikirnya dalam hati. Luz merasa akan repot kalau sampai gadis kecil tetangganya itu menangis. Bukannya dia takut akan dimarahi ibunya, tapi mendengar rengekan dan tangisan itu, yahh, menyebalkan. Selain itu kata ayahnya ‘pria sejati tidak akan membuat seorang wanita menangis’, tentu saja Luz mengingat itu. Dia mengingat semua yang ayahnya katakan. Ayahnya adalah seorang prajurit kerajaan yang keren, menurutnya. Suatu hari nanti dia ingin seperti ayahnya.
Luz memanjat pohon tua itu dengan cepat. Dia duduk di cabang di dekat kawanan bunga anggrek itu tumbuh.
“Berapa?” Katanya sedikit berteriak pada gadis kecil yang menunggunya di bawah pohon itu.
“Lima.” Sahut gadis kecil itu penuh semangat seraya merentangkan kelima jari tangan kanannya ke udara.
Luz memilah bunga-bunga itu satu per-satu dengan hati-hati. Dipisahkannya akar bunga anggrek itu dari induknya, di atas cabang pohon tua itu.
Luz memegang lima tangkai bunga anggrek itu dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya berpegangan pada cabang di atas pundaknya. Ia bersiap untuk melompat turun. Namun ia  terhenti saat mendengar gadis kecil di bawah berteriak memanggil namanya.
“Luz!! Ada belalang!!” teriak gadis kecil itu seraya menunjuk ke arah cabang tempatnya berpijak.
Luz tersentak. Melihat ke arah yang di tunjuk gadis kecil itu. Panik. Pijakannya oleng, ia hampir tejatuh. Bukan apa-apa, hanya saja ia tak menyukai serangga berwarna hijau itu. Luz tidak pernah takut - itulah yang selalu diteriakkannya saat digoda dengan binatang yang yahh, tidak disukainya itu. Untungnya tidak ada apa-apa di sana. Ya, gadis kecil itu berbohong padanya. Dia hanya bisa mendengus kesal dan memberikan tatapan awas-kau-nanti pada gadis kecil yang menggodanya tadi.
Gadis kecil itu menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Menahan tawa yang sudah akan meledak. Tidak ingin membuat teman kecilnya itu lebih marah padanya.
“Maafkan aku Luz” katanya tulus. Menatap Luz seraya memamerkan gigi kelinci di balik senyum polosnya. Tiba-tiba matanya tertuju pada kaos abu-abu yang dipakai Luz.
“Luz, di bajumu benar-benar ada belalangnya” katanya.
Luz menatapnya dengan pandangan aku-tak-akan-mempercayaimu-lagi seraya mendengus. Namun Luz tetap melihat ke arah kaosnya, berjaga-jaga.
“Aargh..!!” Luz berteriak. Kaget. Binatang itu benar ada di sana, di kaosnya. Ia mnegibas-ngibaskan kaos abu-abunya dengan tangan kanannya yang tadinya ia pakai untuk berpegangan. Pijakannya lagi-lagi oleng. Ia tak dapat lagi mengatur keseimbangan tubuhnya. Ia terjatuh. Bunga anggrek yang di genggam di tangan kirinya terlepas. Jatuh.
“Waa..!!” ia dan gadis kecil itu berteriak bersamaan, sebelum ia jatuh ke semak di bawah pohon tua itu.
“Luz? Kau tak apa?” tanyanya panik. Menghampiri semak hijau itu.
Tak ada jawaban. Tak ada Luz.
Kemana Luz? Tanyanya dalam hati.
“Kau mengerjaiku Luz?” tanya gadis kecil itu sedikit berteriak.
Tak ada jawaban. Hanya kicauan burung penghuni hutan kecil itu yang menyahut. Tak ada Luz.

TBC...

            

No comments:

Post a Comment