Chapter 3 : Hilang
Kelopak mata di wajah
pucat itu terbuka, mengerjap. Pupil matanya melebar, berusaha mengumpulkan
berkas cahaya. Ada jejak api di sana, di samping kaki kirinya yang terbujur
kaku. Namun serpihan bara mungil itu perlahan menghilang, meninggalkannya di
tengah kegelapan.
Dingin. Hanya itu yang dirasanya
sekarang. Tangan pucatnya meraba bahu kirinya yang terasa amat perih. Dia
memejamkan matanya. Mengaktifkan syaraf-syaraf di otaknya. Meraba bayang samar
yang terlintas di ujung pikirannya.
Pagi itu sinar mentari menyentuh tiap sisi di permukaan Dataran
Tala. Memberikan pelukan hangat bagi setiap kehidupan yang bernaung di
bawahnya. Termasuk dua orang anak kecil yang sedang berjalan berdampingan,
menyisiri pinggiran hutan yang tak jauh dari rumah mereka.
Gadis kecil bersurai
panjang keperakan itu berlari pelan ketika manik biru polosnya menemukan
serumpun bunga anggrek ungu di sebuah cabang pohon tua. Namun gadis kecil itu
berbalik kembali ketika ia tidak menemukan anak kecil lain mengikutinya. Ia mendongak,
menatap anak laki-laki di depannya, berharap tatapannya dapat mengungkap
keinginannya. Anak laki-laki itu hanya menatapnya malas. Percuma. Akhirnya ia
menarik ujung baju anak laki-laki itu dan membawanya ke bawah pohon tua itu.
“Luz. Ambilkan itu.
Tolong.” Kata gadis kecil itu seraya menunjuk ke arah sebuah cabang pohon tua.
Memerintah. Memohon.
Anak laki-laki yang
dipanggil Luz itu hanya diam. Tak perduli.
“Jika kau tidak
mengambilkannya, akan ku katakan pada bibi kalau kau membuatku menangis Luz.”
Katanya dengan wajah merah dan tangisan yang hampir meledak.
“Ba-baiklah.” Kata Luz
gugup. ‘Bocah ini benar-benar menyebalkan’
pikirnya dalam hati. Luz merasa akan repot kalau sampai gadis kecil tetangganya
itu menangis. Bukannya dia takut akan dimarahi ibunya, tapi mendengar rengekan
dan tangisan itu, yahh, menyebalkan. Selain itu kata ayahnya ‘pria sejati tidak
akan membuat seorang wanita menangis’, tentu saja Luz mengingat itu. Dia
mengingat semua yang ayahnya katakan. Ayahnya adalah seorang prajurit kerajaan
yang keren, menurutnya. Suatu hari nanti dia ingin seperti ayahnya.
Luz memanjat pohon tua
itu dengan cepat. Dia duduk di cabang di dekat kawanan bunga anggrek itu
tumbuh.
“Berapa?” Katanya
sedikit berteriak pada gadis kecil yang menunggunya di bawah pohon itu.
“Lima.” Sahut gadis
kecil itu penuh semangat seraya merentangkan kelima jari tangan kanannya ke
udara.
Luz memilah bunga-bunga
itu satu per-satu dengan hati-hati. Dipisahkannya akar bunga anggrek itu dari
induknya, di atas cabang pohon tua itu.
Luz memegang lima
tangkai bunga anggrek itu dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanannya
berpegangan pada cabang di atas pundaknya. Ia bersiap untuk melompat turun.
Namun ia terhenti saat mendengar gadis
kecil di bawah berteriak memanggil namanya.
“Luz!! Ada belalang!!”
teriak gadis kecil itu seraya menunjuk ke arah cabang tempatnya berpijak.
Luz tersentak. Melihat
ke arah yang di tunjuk gadis kecil itu. Panik. Pijakannya oleng, ia hampir
tejatuh. Bukan apa-apa, hanya saja ia tak menyukai serangga berwarna hijau itu.
Luz tidak pernah takut - itulah yang selalu diteriakkannya saat digoda dengan
binatang yang yahh, tidak disukainya itu. Untungnya tidak ada apa-apa di sana.
Ya, gadis kecil itu berbohong padanya. Dia hanya bisa mendengus kesal dan
memberikan tatapan awas-kau-nanti pada gadis kecil yang menggodanya tadi.
Gadis kecil itu menutup
mulutnya dengan kedua tangannya. Menahan tawa yang sudah akan meledak. Tidak
ingin membuat teman kecilnya itu lebih marah padanya.
“Maafkan aku Luz”
katanya tulus. Menatap Luz seraya memamerkan gigi kelinci di balik senyum
polosnya. Tiba-tiba matanya tertuju pada kaos abu-abu yang dipakai Luz.
“Luz, di bajumu
benar-benar ada belalangnya” katanya.
Luz menatapnya dengan
pandangan aku-tak-akan-mempercayaimu-lagi seraya mendengus. Namun Luz tetap
melihat ke arah kaosnya, berjaga-jaga.
“Aargh..!!” Luz
berteriak. Kaget. Binatang itu benar ada di sana, di kaosnya. Ia
mnegibas-ngibaskan kaos abu-abunya dengan tangan kanannya yang tadinya ia pakai
untuk berpegangan. Pijakannya lagi-lagi oleng. Ia tak dapat lagi mengatur
keseimbangan tubuhnya. Ia terjatuh. Bunga anggrek yang di genggam di tangan
kirinya terlepas. Jatuh.
“Waa..!!” ia dan gadis
kecil itu berteriak bersamaan, sebelum ia jatuh ke semak di bawah pohon tua itu.
“Luz? Kau tak apa?”
tanyanya panik. Menghampiri semak hijau itu.
Tak ada jawaban. Tak
ada Luz.
Kemana
Luz?
Tanyanya dalam hati.
“Kau mengerjaiku Luz?”
tanya gadis kecil itu sedikit berteriak.
Tak ada jawaban. Hanya
kicauan burung penghuni hutan kecil itu yang menyahut. Tak ada Luz.
TBC...
No comments:
Post a Comment